“Apakah kamu mau ikut..?”, sahabatku bertanya. Sepontan saya balik bertanya, “kemana…?”. “Mengambil Bunga Edelweiss, dipuncak Gunung Ciremai", jawab sahabatku. Tanpa pikir panjang saya balas “Mau..”. Tahun 1992 dibulan September pendakian saya yang pertama, ada satu yang membuat saya bertekad untuk ikut yaitu “Bunga Edelweiss” , bunga yang akhirnya saya tahu makna yang terkandung didalamnya sebuah keabadian, ketulusan dan perjuangan.
Sabtu malam pukul 19:30 waktu setempat, kami Sholat Isya berjamaah disebuah desa kecil (desa Apuy) dikaki bukit, daerah terpencil, dingin, sepi, hanya beberapa lentera yang menggantung didepan rumah penduduk sebagai tanda adanya kehidupan disana. Desa tersebut sebagai pintu masuk pendakian menuju gunung Ciremai.
Diawali dengan berdoa kami bersepuluh mulai melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak dan pematang ladang milik penduduk desa, menuju gerbang hutan kaki gunung ciremai. Perkiraan sampai dipuncak gunung sekitar pukul 05:00 subuh. Ada 3 shelter tempat istirahat yang harus kami lewati.
Sumber Air dan Babi Hutan
Setelah 2 jam perjalanan kami baru sampai di shelter 1, kami istirahat sejenak sambil persiapan mengisi bekal air, kata pemandu kami, harus diisi penuh, karena kita tidak akan menemukan lagi sumber air sampai ke puncak dan kembali lagi ke shelter 1. Kebersihan di shelter 1 juga harus dijaga, karena akan mengundang babi hutan yang tentunya akan mengganggu istirahat kita. Ada salah satu team kami membuang bekas makanan dengan sembarangan, tiba-tiba 3 ekor babi hutan menghampiri dan mengendu endus kepala kami dari belakang. Pemandu kami langsung menginstruksikan untuk tidak banyak bergerak, lalu pemandu kami mengibas ngibaskan kayu pembakaran ke arah babi, sejenak ketiga babi pun pergi.
Misteri Dilarangnya Buang Air Kecil ke Tanah
Udara semakin dingin, setelah 2.5 jam perjalanan sampai ke shelter 2, malam dini hari, semilir bau belerang kadang-kadang sudah mulai terasa, ada pemandangan aneh kalau kita coba arahkan senter ke pepohonan, banyak kantong-kantong plastik berisi air menggantung diranting ranting pohon, dan ternyata itu adalah air kencing. Ada pantangan bagi para pendaki untuk kencing ke tanah, jadi para pendaki mengakalinya dengan kencing ke plastik lalu digantung diranting-ranting pohon. Bila pantangan itu dilanggar konon katanya pelakunya langsung jatuh pingsan. Tapi mungkin kalau dianalisa barangkali senyawa antara kandungan zat di tanah dengan air kencing yang menyebabkan timbulnya gas dan terhirup oleh pelakunya dan tidak lama pelakunya pun pingsan. Sekali lagi mungkin. Atau mungkin juga sebagai pesan leluhur bahwa air itu akan bermanfaat bagi para pendaki yang kehabisan air.
Setelah istirahat 15 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju shelter terkahir. Hutan semakin lebat dan pohon-pohon semakin besar, kadang-kadang ditemukan pohon besar tumbang merintangi jalan, terpaksa harus merayap lewat bawah pohon, karena tidak mungkin untuk melewatinya dari atas, karena begitu besarnya pohon dan licin karena pohon itu berlumut serta basah. Bau belerang semakin menyengat dan nafas pun mulai sesak, semakin dingin dan gelap. Sesekali kami berteriak menyebutkan nomor urut kami dari depan sampai belakang untuk memeriksa kelengkapan team kami.
Saya harus kuat, saya harus memetik langsung bunga edelweis dari pohonnya. Tanpa terasa yang kami injak bukan lagi tanah melainkan batuan keras bekas lelehan lava yang mengering, tidak lagi berjalan tegak karena jalanan semakin miring.
Keindahan Alam Puncak Gunung
Alhamdulillah pukul 4:30 kami sampai dipuncak tapi masih gelap, kami sholat subuh berjamaah, setelah itu kami istirahat sejenak. Sambil menunggu terbitnya matahari. Langit mulai menguning, sinar mentari sedikit demi sedikit menyinari jagat raya, keindahan alam sekitar mulai memamerkan sapuan koas lukisan sang Pencipta. Subhanallah begitu indah, kami ada diatas awan..kami berdiri diatas awan karena kaki kami masih terbalut kabut. Ternyata kami tidak sendiri, tidak jauh dari kami, diseberang kawah bermunculan insan insan pencinta alam, kami saling menyapa lewat teriakan teriakan, sesekali kami bertakbir 'Allahu Akbar'. Kawahpun mulai terlihat, kepulan asap yang menandakan bahwa gunung tersebut masih aktif.
Bunga Edelweiss
Akhirnya saya bisa melihat langsung hamparan bunga edelweiss dipuncak gunung ciremai, bunga yang berarti putih, mulia dan suci. Bunga yang sebagai simbol keabadian, ketulusan dan perjuangan. Bermakna keabadian karena bunganya yang terus awet dan berada dipuncak gunung, Lambang ketulusan, karena Edelweis dapat tumbuh di daerah yang khusus dan ekstrem dengan kondisi apa adanya. Sebagai lambang perjuangan, karena bunga ini tumbuh ditempat yang tandus, dingin dan untuk mendapatkannya harus bersusah payah mendaki gunung. Hanya sayang masih ada saja yang memperlakukan bunga tersebut dengan tidak bijaksana, ditebang, dipetik dan dibuang begitu saja.
Terbayar sudah lelahnya perjalanan kami mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat tersebut, kami sudah mendapatkan segenggam bunga edelweiss kami simpan sebagai kenang-kenangan untuk sesekali mengenang kembali sebuah perjalanan.